Filter Bubble & Echo Chamber: Ketika Algoritma Memperkuat Polarisasi

Daftar Isi

Ilustrasi. (Foto: nexushub.web.id).
Ilustrasi. (Foto: lansirin.id).
Algoritma media sosial membentuk filter bubble dan echo chamber yang mempersempit ruang diskusi serta memperkuat polarisasi opini.

Jum'at, (7/2/2025) ‒ Kini, media sosial bukan lagi sekedar platform berbagi, tetapi telah menjadi instrumen yang secara subtil mampu membentuk persepsi, opini, hingga keyakinan masyarakat terhadap suatu isu.

Kombinasinya dengan algoritma bahkan sanggup memengaruhi bagaimana informasi di konsumsi. Memanfaatkan data-data pengguna seperti preferensi dan interaksi, algoritma dapat secara efektif menyajikan konten yang relevan.

Merujuk pada beberapa sumber yang dihimpun lansirin.id, algoritma adalah serangkaian langkah atau instruksi yang terstruktur dan sistematis untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Algoritma dapat diartikan sebagai metode yang direncanakan secara matang, di mana setiap langkah harus diikuti untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dalam konteks media sosial, algoritma didefinisikan sebagai serangkaian aturan dan instruksi matematis yang digunakan platform media sosial guna menentukan konten mana yang jadi prioritas untuk ditampilkan kepada pengguna.

Cara kerja algoritma sebenarnya cukup sederhana dan mudah dipahami: algoritma akan menganalisis data pengguna, seperti riwayat pencarian, interaksi dengan konten, dan informasi yang dicantumkan dalam profil.

Data-data ini lalu diolah dengan rumus kompleks matematis yang pada akhirnya menghasilkan peringkat konten. Semakin relevan sebuah konten dengan profil pengguna, maka peringkat konten tersebut akan semakin tinggi.

Selain riwayat pencarian dan interaksi pengguna, algoritma juga mempertimbangkan faktor lain seperti waktu posting, popularitas akun dan volume penggunaan tagar. Misal, suatu konten yang baru saja diunggah dan memiliki banyak interaksi akan cenderung menjadi prioritas untuk muncul di bagian atas feed.

Begitupun dengan akun yang punya banyak pengikut sebab luasnya jangkauan yang dimiliki. Selain itu, algoritma juga mampu memahami pola dari preferensi penggunanya. Jika si pengguna seorang yang menggilai sepakbola, maka algoritma akan menyajikan konten-konten serupa untuknya.

Mekanisme algoritma yang secara selektif menyajikan konten berdasarkan preferensi pengguna ini, meskipun memudahkan akses informasi relevan, justru membuka peluang terjadinya filter bubble—suatu kondisi di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sudah sejalan dengan keyakinannya. Alhasil, spektrum informasi yang diterima pun menjadi sangat terbatas.

Filter Bubble dan Echo Chamber

Alih-alih memberikan pengalaman pengguna yang lebih baik, algoritma justru menciptakan sebuah fenomena yang dikenal dengan istilah Filter Bubble. Menyadur Eli Pariser dalam bukunya berjudul "The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You" yang terbit pada 2011 silam, Filter Bubble didefinisikan sebagai fenomena yang membuat pengguna hanya terpapar pada konten atau informasi yang sesuai dengan minat atau preferensinya saja. Dengan kata lain, pengguna terus-menerus terpapar sudut pandang yang sama dan terjebak dalam loop-back informasi.

Selain itu, filter bubble juga dapat membentuk persepsi yang bias dan menyederhanakan isu-isu kompleks. "Ketika seseorang mendapat informasi dari satu sudut pandang yang hanya mendukung persepsinya saja, maka akan lebih kuat lagi keyakinannya atas persepsinya tersebut," kata Eli Pariser. Alhasil, mereka akan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diyakini sebelumnya.

Hal ini kemudian berpotensi menyebabkan kesalahpahaman dan misinterpretasi terhadap isu-isu yang dikira sederhana padahal kompleks. Misal, jika seseorang hanya mengikuti akun media sosial yang menyajikan berita politik dari satu sudut pandang tertentu, ia akan cenderung memiliki pandangan yang sempit dan tidak objektif terhadap isu-isu politik lainnya.

Selain itu, filter bubble juga memperkuat polarisasi opini dengan menciptakan echo chamber. Echo chamber atau ruang gema adalah situasi di mana orang atau pengguna hanya berinteraksi dengan pengguna lain atau konten yang memiliki kesamaan dengan preferensi minatnya.

Filter bubble menjadi pintu masuk menuju echo chamber. Algoritma mengumpulkan pengguna dengan minat serupa ke dalam "ruang" yang homogen, lalu interaksi didalamnya memicu echo chamber.

Dalam konteks media sosial, selain makin memperkuat keyakinan seseorang tentang suatu hal, perpaduan antara filter bubble dan echo chamber juga mempersempit ruang bagi masuknya sudut pandang baru. Dengan kata lain, keduanya secara tidak langsung mencegah seseorang melihat perspektif yang berbeda.

Perselisihan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi ilustrasi nyata bagaimana mekanisme algoritma media sosial tidak hanya memperkuat keyakinan semata, tetapi juga memperdalam jurang polarisasi opini. Yanqin Lu, Rik Ray, dan Louisa Ha dalam studi berjudul Social Media News Consumption and Opinion Polarization on China's Trade Practices: Evidance From a U.S National Survey mengemukakan bahwa penggunaan media sosial dapat secara tidak langsung memicu polarisasi, terutama melalui opini-opini yang berseliweran di dunia maya.

Ilustrasi. (Foto: NexusHub.ID).
Ilustrasi. (Foto: lansirin.id).

Polarisasi opini terjadi secara tidak langsung, melainkan karena interaksi pengguna dengan konten yang terjadi secara terus menerus, berkelanjutan. "Ketika pengguna berulang kali disajikan konten yang sependapat dengannya, maka ia akan semakin yakin dengan apa yang telah dipercayai dan dipikirkannya," ujar para peneliti.

Pengguna akan lebih condong untuk mengabaikan dan menolak pandangan yang berbeda. Yang selanjutnya berimbas pada menguatnya polarisasi opini. "Membuat seseorang jadi semakin sulit menerima sudut pandang yang berbeda," kata mereka.

Fenomena serupa juga pernah terjadi di Indonesia. Riset yang dilakukan oleh M. Rosyadi dan Eriyanto bertajuk The Influence of the Social Media Recommendation System Against Polarization in the Views of User Politics: Experiments on Social Media Newsfeed on Social Media Users, memaparkan pada pemilu 2019 sistem algoritma media sosial, meskipun dimaksudkan untuk memenuhi preferensi pengguna, tetapi algoritma secara tidak sengaja malah berkontribusi pada penguatan polarisasi opini, khususnya dalam konteks isu-isu politik.

Sejalan dengan studi diatas, kajian berjudul Political Polarization and Selective Exposure of Social Media Users in Indonesia yang melakukan analisis jaringan terhadap 82.156 unggahan dan analisis konten pada 4.050 akun media sosial menunjukkan bagaimana polarisasi opini diperkuat oleh algoritma media sosial, filter bubble dan selective exposure (paparan selektif).

Dalam penelitian ini, Denny Januar dan Eriyanto, peneliti dalam riset ini, memaparkan bahwa polarisasi opini diperkuat dan dipertajam oleh penggunaan tagar—yang berfungsi sebagai pembentuk identitas. Lantas, pengguna media sosial terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni pro-Jokowi dan anti-Jokowi. Setiap pihak (pendukung dan oposisi) menggunakan tagar untuk menegaskan identitas politik, menciptakan solidaritas dan mobilisasi dari masing-masing pendukung.

Agar pengguna media sosial mau terlibat—mendukung atau menentang, tutur Denny dan Eriyanto, bahasa-bahasa bernuansa emosional umumnya digunakan untuk menarik dukungan. "Kondisi ini menyebabkan meningkatnya polarisasi politik," lanjut kedua peneliti.

Ilustrasi filter bubble dan echo chamber. (Foto: NexusHub.ID).
Ilustrasi filter bubble dan echo chamber. (Foto: lansirin.id).

Kemudian, penyebaran informasi yang salah dan kampanye politik yang agresif di media sosial turut berkontribusi memperlebar polarisasi ini. Berita bohong dan opini yang dibumbui emosi berseliweran di beranda pengguna, mengaburkan fakta dan memicu perpecahan. Para politikus dan pendukungnya pun tak jarang memanfaatkan media sosial untuk menyerang lawan politik dan menggemborkan isu-isu sensitif.

Akibatnya, masyarakat semakin terfragmentasi dan berimbas pada sulitnya untuk mencapai konsensus atau titik temu. Media sosial dengan kecanggihan algoritmanya, justru menjadi alat yang memudarkan kohesi sosial dalam masyarakat. Filter bubble dan echo chamber mengisolasi dan mengurung individu dalam ruang informasi terbatas. Hingga akhirnya terjadi polarisasi yang ekstrem.

Individu semakin sulit berempati dengan pandangan berbeda. Interaksi antar kelompok menjadi semakin terbatas, bahkan berujung pada konflik. Ketidaksepakatan kecil pun dapat membesar menjadi pertikaian yang berkepanjangan.

Lebih jauh lagi, filter bubble dan echo chamber menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Dalam ruang yang terpolarisasi, dialog dan musyawarah menjadi sulit dilakukan. Masing-masing kelompok hanya berfokus pada memperkuat narasi sendiri, tanpa ada upaya untuk mencari titik temu. Konsensus yang menjadi landasan demokrasi menjadi semakin sulit dicapai dan mengancam stabilitas dalam bernegara.

Lalu Apa Solusinya?

Secara umum, ada empat solusi atau upaya mitigasi yang dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif dari polarisasi opini akibat algoritma, filter bubble dan echo chamber: transparansi algoritma, pilihan personalisasi, pendidikan media dan regulasi.

Dengan mengetahui bagaimana algoritma bekerja, pengguna dapat lebih kritis dalam mengevaluasi informasi yang mereka terima. Platform digital dirasa perlu lebih terbuka mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konten-konten yang rekomendasikan, sehingga diharapkan pengguna bisa lebih memahami alasan mengapa mereka melihat konten tersebut.

Selain itu, pilihan personalisasi juga tak kalah penting. Pilihan personalisasi adalah pengguna di beri keleluasaan dalam mengatur jenis konten seperti apa yang akan dilihatnya. Opsi ini memungkinkan pengguna untuk melihat perspektif-perspektif yang berbeda. Karena pengguna memegang kendali atas jenis informasi yang mereka konsumsi, maka pengguna dapat lebih siap menghadapi filter bubble dan echo chamber.

Pendidikan media juga berperan penting membekali masyarakat dengan keterampilan yang diperlukan untuk menavigasi lanskap informasi yang kompleks. Melalui pendidikan media, individu diajarkan untuk mengenali bias dalam berita, mencari sumber informasi yang kredibel, dan mengevaluasi informasi secara kritis.

Terakhir, regulasi juga diperlukan untuk memastikan bahwa platform digital beroperasi secara bertanggung jawab. Pemerintah dan lembaga pengawas perlu menetapkan standar transparansi bagi algoritma serta mendorong praktik terbaik dalam penyajian konten. Regulasi juga dapat melindungi hak pengguna untuk mendapatkan akses ke informasi yang beragam dan mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan.

Dengan begitu, lingkungan digital yang lebih sehat dan inklusif dapat tercipta. Polarisasi jadi lebih terkontrol sebab memungkinkan adanya dialog yang lebih konstruktif.