Propaganda dan Artificial Intelligence, Racikan Ampuh Memecah-Belah Kohesi Sosial
![]() |
Ilustrasi. (lansirin.id). |
Teknologi ini telah menjadi katalis bagi lahirnya inovasi-inovasi brilian. Termasuk membuat propaganda politik jadi jauh lebih efektif dan efisien.
Senin, (3/2/2025) | "Tak ada yang baru di bawah kolong langit ini," tulis Amos Ursia, dalam puisinya berjudul "Ora et Proelium—untuk para Ibu pada setiap Kamis". Begitu pun dengan propaganda; ia bukan hal yang baru dalam politik.
Inovasi dan kemajuan yang diejawantahkan dalam teknologi bernama Artificial Intelligence (AI) kini memungkinkan terwujudnya kebaruan itu. Merevolusi metode dan cara propaganda politik bekerja di era ini.
***
Penelitian bertajuk Artificial Influence: An Analysis Of AI-Driven Persuasion pada 15 Maret 2023, menyebut bahwa "AI kini telah mencapai level persuasif yang bisa membuat seseorang melakukan tindakan," tulis Matthew Burtell dan Thomas Woodside. "Misalnya seperti membeli produk, menonton video, hingga meng-click suatu konten digital."
Kecakapan AI menganalisis data preferensi pengguna dalam skala besar serta memproduksi teks 'rayuan' intuitif adalah sebab utamanya. Kedua hal ini yang membuat efektivitas penargetan pesan propaganda jadi lebih kuat dan presisi. "Ini menjadikan propaganda berbasis AI jauh lebih kuat dibandingkan metode konvensional," tambah mereka.
Sejalan dengan studi di atas, riset berjudul How Persuasive is AI-Generated Propaganda? juga mengungkap hal yang sama. "Riset kami menunjukkan bahwa teks propaganda yang dihasilkan AI terasa sangat meyakinkan," tulis para peneliti dalam riset yang terbit pada 20 Februari 2024 ini. Menurut kajian mereka, sebagian besar responden yang diwawancarai mengaku setuju dengan argumen-argumen yang dituturkan pesan propaganda.
Selain mudah diterima logika manusia, tambah para peneliti, pesan-pesan itu bahkan sanggup menyentuh sisi emosional manusia lewat kombinasi dari berbagai variasi gaya bahasa dan kata-kata. "Dengan narasi politis yang diramu sedemikian rupa, pesan-pesan tersebut jadi tampak lebih alami dan otentik," tulis riset yang diterbitkan Oxford Academic ini.
Dari ChatBot Hingga Algoritma
Riset bertajuk "The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation", pernah mengungkap bagaimana cara teks propaganda berbasis AI di produksi dan disebarluaskan. Dalam tim khusus yang disebut Cyber Troops, mereka bekerja secara terorganisir dengan menciptakan konten-konten manipulatif.
Strategi lain yang digunakan adalah membuat amplifikasi pesan. "Amplifikasi ini, bertujuan agar pesan propaganda tidak hanya berhenti pada satu kelompok tertentu, tapi juga menjangkau khalayak yang lebih luas," tulis riset ini.
Para propagandis umumnya juga menjalin kerja sama dengan influencer atau menggunakan jaringan bot dan akun palsu. Lewat amplifikasi pesan yang masif, teks-teks propaganda yang disebar itu dapat viral dengan cepat. Dengan algoritma serta luasnya jangkauan media sosial, propaganda berbasis AI jadi sangat efektif mempengaruhi opini publik.
Pada tahun 2016, misalnya, lembaga riset Rusia bernama Internet Research Agency (IRA) dilaporkan terbukti memakai akun-akun palsu dan akun bot untuk menyebarkan propaganda politik. "Lewat ribuan akun palsu dan akun bot, mereka mengunggah konten provokatif yang mendukung Donald Trump dan menyerang Hillary Clinton," tulis laporan time.com pada 18 April 2018 lalu.
![]() |
Yevgeny Prigozhin. (Foto: Getty Images). |
Internet Research Agency atau IRA adalah sebuah perusahaan asal Rusia yang dikenal sering melakukan operasi propaganda politik daring untuk mendukung kepentingan Rusia. Berbasis di Saint Petersburg, perusahaan ini didirikan dan dikomandoi oleh Yevgeny Prigozhin, seorang oligarki yang dikenal dekat dengan penguasa Rusia Vladimir Putin.
"Saya adalah pendiri Internet Research Agency. Saya mendirikan Internet Research Agency untuk melindungi ruang informasi Rusia dari agresi informasi dan propaganda Barat," kata Prigozhin, dikutip dari kantor berita Rusia, RIA Novosti.
Menghimpun dari berbagai sumber, IRA bekerja dengan cara memanfaatkan kemampuan personalisasi konten algoritma media sosial dan menggunakan taktik yang disebut 'firehose strategy'. Lewat jejaringan akun palsu dan akun bot yang mereka garap, pesan atau konten propaganda lalu disebar ke berbagai platform media sosial hingga forum diskusi daring.
Mengutip laporan Director of National Intelligence (DNI) yang dirilis pada 17 Januari 2017 silam, Rusia disebut menggunakan "troll" dan media-media yang terafiliasi dengan IRA untuk memengaruhi opini publik dan menyerang Hillary Clinton.
"Mereka menyebarkan cerita-cerita negatif tentang skandal yang melibatkan Clinton. Mereka juga memanfaatkan peran WikiLeaks dalam kampanye pemilihan presiden," seperti yang disadur dari laporan DNI berjudul "Background to “Assessing Russian Activities and Intentions in Recent US Elections”: The Analytic Process and Cyber Incident Attribution".
Selain ChatBot, ada juga teknologi kecerdasan buatan (AI) lain bernama DeepFake. Teknologi ini memungkinkan pembuatan video atau audio yang palsu jadi terlihat dan terdengar asli. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat beberapa kasus yang melibatkan penggunaan DeepFake untuk tujuan propaganda dan menyerang lawan politik.
![]() |
Donald Trump dan Nancy Pelosi. (Foto: lansirin.id). |
Ambil contoh perseteruan panas antara dua tokoh penting di dunia perpolitikan Amerika Serikat (AS) pada tahun 2019 silam. Peristiwa ini melibatkan Nancy Pelosi dan Donald Trump. Konflik diantara keduanya berlangsung saat negeri berjuluk Paman Sam itu tengah bersiap memulai pemilu presiden. Eskalasi politik di sana ketika itu juga sedang hangat-hangatnya.
Kala itu, rekaman Pelosi yang mengkritik Trump dalam suatu konferensi resmi beredar luas di media sosial. Dalam klip itu, Pelosi berbicara seperti orang mabuk. Karena Pelosi yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR AS, tak butuh waktu lama bagi rekaman tersebut mendulang jutaan penonton. "Satu unggahan klip itu telah ditonton lebih dari 2,5 juta kali hanya dalam waktu yang relatif singkat," seperti diberitakan bbc.com, Sabtu, 25 Mei 2019 silam.
Rekaman tersebut lantas menjadi bahan bakar utama serangan orang-orang dari Partai Republik ke Pelosi. Perseteruan keduanya kian meruncing saat Trump mencuit 'PELOSI STAMMERS THROUGH NEWS CONFERENCE' (Pelosi Tergagap-Gagap Selama Konferensi Pers) yang disertai dengan klip Pelosi di akun twitter pribadinya (kini X). Merasa mendapat validasi, gelombang serangan dari pendukung Partai Republik, terutama dari para pendukung Trump pun bertambah kuat.
Usai terlanjur viral dan memicu kegaduhan, baru diketahui bahwa klip itu telah dimodifikasi. "Video pidato Pelosi di atas panggung dalam sebuah acara bertajuk 'Center for American Progress' yang beredar di media sosial beberapa waktu lalu telah melalui sejumlah pengeditan. Membuat suaranya [Nancy Pelosi] terdengar tidak jelas dan terdistorsi," tulis laporan The Washington Post pada 24 Mei 2019.
![]() |
Cuitan dan unggahan Trump pada 23 Mei 2019 silam. (Foto: abcnews.go.com). |
Teranyar, kasus yang sama juga pernah terjadi pada tahun 2024. Sebuah suara yang dipercaya sebagai suara Joe Biden (Presiden AS ke-11), digunakan sebagai propaganda dalam kampanye politik di New Hampshire. Suara tersebut mengajak dan membujuk pemilih agar tidak berpartisipasi dalam pemilihan pendahuluan di Partai Demokrat.
Tak hanya ChatBot dan DeepFake, algoritma pun kini memainkan peran penting dalam propaganda politik. Ia bukan lagi sekedar alat untuk menyesuaikan konten dengan preferensi pengguna saja. Alih-alih menjadi sarana pengoptimalan platform, algoritma justru membuat efektivitas dan dampak propaganda jadi jauh meningkat.
Menukil Pew Research Center (PRC), kecenderungan algoritma yang memprioritaskan konten-konten bernuansa emosional menjadi sebab utamanya. Pasalnya, konten-konten seperti itu mampu mendorong lebih banyak interaksi pengguna. "Terutama konten yang dapat memicu kemarahan atau kebencian," tulis PRC dalam laporan mereka bertajuk "Public Attitudes Toward Computer Algorithms" pada 18 November 2018 silam.
Dalam laporan mereka yang lain, sebanyak 64 persen responden mereka mengaku sulit membedakan mana berita asli dan mana yang palsu. "Penyajian konten berdasarkan preferensi pengguna mengintervensi dan menjauhkan mereka dari sudut pandang alternatif atau yang berbeda," tulis laporan PRC. "Ini mengurangi kemampuan pengguna ketika menilai persoalan atau isu secara lebih objektif dan adil," lanjut laporan tersebut, seperti dikutip lansirin.id.
Dampaknya Terhadap Demokrasi dan Sosial Masyarakat
Pokok permasalahan propaganda berbasis AI terletak pada skala dan kecepatan teknologi ini menghasilkan konten-konten manipulatif. Kemampuannya menciptakan konten dengan jumlah yang sangat banyak tanpa cacat, seperti teks yang bebas dari kesalahan tata bahasa atau visual tanpa glitch, membuat hasil propaganda jadi lebih sulit dideteksi. Tanda bahwa sebuah informasi adalah palsu, kini dapat dielakkan.
"Yang membuatnya mengkhawatirkan adalah skalabilitasnya. Dengan alat yang sanggup menghasilkan ribuan variasi narasi, aktor-aktor itu dapat menargetkan demografi tertentu. Bahkan dengan lebih akurat," kata Anna Mysyshyn, Direktur dan salah satu pendiri Institute of Innovative Governance, dalam wawancaranya bersama Int Policy Digest, Kamis, 5 Desember 2024 lalu.
![]() |
Ilustrasi. (Foto: National Herald archives). |
Kampanye ini, lanjutnya, mengeksploitasi perpecahan sosial dan politik yang ada, menciptakan efek berantai yang mengganggu stabilitas masyarakat. Munculnya teknologi AI generatif, DeepFake, dan kloning suara, kata dia, telah mengubah lanskap perang informasi dan penyebaran informasi secara dramatis.
Menurut Anna, dalam jangka pendek, alat-alat ini dapat mengubah persepsi publik. "Terutama jika digunakan selama perang atau pada saat keadaan politik sedang tidak stabil," tuturnya. Lalu, video-video atau pernyataan resmi palsu yang dihasilkan AI bisa dengan cepat mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga publik.
Menjalar hingga memicu polarisasi yang berpuncak pada meningkatnya eskalasi keresahan publik. "Kampanye disinformasi bekerja secara bertahap untuk melemahkan kohesi masyarakat, mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga demokrasi, dan memperkuat perpecahan sosial," jelasnya.
Tetapi, ia menambahkan, dampak yang lebih berbahaya dari cara-cara culas ini adalah jika ia terakumulasi seiring berjalannya waktu. "Efek kumulatifnya adalah masyarakat menjadi semakin bingung dan skeptis terhadap semua sumber informasi, yang mendorong terciptanya lingkungan di mana kebenaran direndahkan dan dianggap tidak relevan dengan realita sebenarnya," tegas Anna.
Pola-pola seperti itu tentu menimbulkan tantangan besar bagi demokrasi. "Dan dalam prosesnya, teknologi ini bahkan melampaui pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemantau, bahkan negara sekalipun," kata Raluca Csernatoni, pada Rabu, 18 Desember 2024, seperti dinukil lansirin.id.
Senada dengan Anna Mysyshyn, Csernatoni juga menerangkan kemajuan-kemajuan yang dihasilkan teknologi AI sekarang telah menimbulkan risiko epistemik baru, seperti produksi pengetahuan yang bias atau menyesatkan. "Serta distorsi pemahaman dan kepercayaan pada sumber informasi," ujar peneliti dari lembaga think tank Carnegie Europe ini.
![]() |
Raluca Csernatoni. (Foto: Yt/@CESIunions). |
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa AI juga dapat mereplikasi bias sosial yang ada. Pasalnya, program AI memang dilatih dengan menggunakan basis data dari masa lalu yang sebelumnya berkemungkinan besar berasal atau bersumber dari informasi yang bias. Hal ini, menurutnya, akan melestarikan dan memunculkan bias-bias lain dalam konten atau informasi yang kemudian dikonsumsi publik.
Publik lantas akan kesulitan mencari sumber informasi kredibel. Lalu berimbas pada munculnya erosi kepercayaan publik yang berdampak serius terhadap legitimasi institusi demokrasi. Dalam jangka panjang, terang Csernatoni, erosi ini bisa membuat sistem demokrasi jadi lebih rentan. Hingga akhirnya mudah dieksploitasi."Jika tidak ditangani tentu akan mendistorsi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokrasi," ucapnya.
Tak hanya itu, fenomena ini ditengarai turut memperburuk kondisi polarisasi politik di tengah masyarakat. Konsensus atau titik temu dalam percakapan dan diskusi politik seperti berjumpa jalan buntu.
"Perpecahan di antara masyarakat ini menghambat dialog yang konstruktif, melemahkan upaya membangun konsensus, dan dapat menyebabkan meningkatnya keresahan sosial," kata Neil Sahota, salah satu peneliti utama di lembaga riset kecerdasan buatan IBM dalam artikelnya bertajuk "AI And The Shadow Over Democracy: The Rising Threat To Global Elections".
Penggunaan tidak etis teknologi ini, tambahnya, turut serta menurunkan kualitas kohesi sosial. Menciptakan kondisi sosial dimana masyarakat jadi semakin terfragmentasi. "Membuat perpecahan yang sudah keruh jadi makin keruh," lanjut Sahota.
Pada akhirnya, propaganda politik berbasis AI tidak hanya menjadi ancaman bagi kredibilitas informasi semata, tetapi juga bagi stabilitas demokrasi itu sendiri. "Masyarakat perlu lebih waspada terhadap informasi yang mereka konsumsi," tutur Sahota.
Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan?
Kendati propaganda berbasis AI sangat mengancam, bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan meminimalisir dampak negatifnya. Untuk itu, perlu upaya kolektif serta kolaboratif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan platform digital dalam meningkatkan literasi digital dan mengembangkan teknologi deteksi disinformasi yang lebih canggih.
"Tanpa langkah nyata, propaganda politik berbasis AI dapat terus menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi, mengancam stabilitas dan legitimasi lembaga-lembaga yang menjadi pondasi sistem pemerintahan modern," kata Mysyshyn.
Selain itu, peningkatan kualitas media berita lokal juga menjadi salah satunya. Keberadaan media berita lokal menjadi cukup krusial. Selain kemampuan media lokal dalam memberikan liputan yang lebih fokus pada isu-isu lokal, media jenis ini juga memiliki hubungan yang lebih dekat dengan komunitas di daerah-daerah.
"Jika tidak ada jurnalisme yang berpusat ditingkat lokal, banyak orang akan mencari informasi dari media sosial. Sementara umum diketahui, bahwa media sosial kini telah menjadi salah satu corong utama penyebaran klaim palsu [pesan propaganda] dan teori konspirasi," tulis Michael Vandergriff dalam artikel bertajuk "Local Government Is Key to the Fight Against Disinformation".
Untuk bisa menerapkan hal tersebut, kata Vandergriff, hal utama yang harus dilakukan adalah membangun jaringan jurnalis profesional ditingkat daerah. Jaringan itu, lanjutnya, harus didedikasikan untuk memuat informasi yang kebenarannya telah terverifikasi.
"Di tingkat global, upaya pengecekan fakta sering kali terhambat oleh keterbatasan momentum. Namun, dengan memperkuat kapasitas di tingkat lokal, kita dapat menciptakan jaringan yang lebih kuat untuk melawan disinformasi di akar rumput," lanjut Vandergriff.
Selain itu, mengutip Sarah Kreps dan Doug Kriner dalam artikel "How AI Threatens Democracy" yang diterbitkan Journal of Democracy, mitigasi lain yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan kemampuan AI itu sendiri.
"Dengan merancang komputasi jaringan saraf, selanjutnya dikombinasikan bersama kemampuan pembelajaran mesin (Machine Learning), ini dapat membantu kita untuk mendeteksi dan menandai informasi yang punya potensi menyesatkan sebelum disebarluaskan," kata mereka.
![]() |
Sarah Kreps dan Doug Kriner. (Foto: lansirin.id). |
Jaringan saraf yang mereka maksud merujuk pada sebuah model komputasi yang terinspirasi dari struktur dan fungsi otak manusia. Model ini terdiri dari banyak unit kecil yang saling terhubung, mirip dengan neuron dalam otak. Jaringan saraf itu dilatih mengenali pola khas dalam data atau informasi yang muncul pada konten propaganda AI.
"Jaringan saraf ini akan belajar sendiri membedakan antara konten yang dibuat manusia dengan yang dibuat AI," tutur kedua peneliti ini.
Mereka juga menekankan perlunya platform penyedia kecerdasan buatan membuat kebijakan mandiri terkait hal ini. Dengan menerapkan kebijakan internal yang ketat, lanjut mereka, platform dapat mencegah penyalahgunaan teknologi mereka untuk tujuan propaganda dan disinformasi.
"Tentu saja, makin meluasnya penggunaan AI generatif, platform-platform ini punya tanggung jawab. Tidak hanya sekadar menciptakan atau mengembangkan teknologi. Tetapi juga bertanggung jawab terhadap nilai-nilai etis dan moral," ujar mereka.
Kemudian, masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengenali akun palsu, memverifikasi informasi, dan memahami cara kerja algoritma media sosial. Peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat dan elit politik juga perlu dilakukan. Dengan literasi digital yang baik, kata kedua peneliti ini, publik akan lebih resisten terhadap propaganda politik dan manipulasi lain berbasis AI.
"Jika tanpa tindakan proaktif, propaganda berbasis AI dapat membanjiri media, internet, dan bahkan komunikasi pribadi dengan misinformasi. Dan pada akhirnya bisa merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi," imbuh mereka.
Artificial Intelligence (AI) memang teknologi luar biasa yang membawa banyak manfaat. Namun, seperti teknologi lainnya, AI juga memiliki sisi gelap yang bisa disalahgunakan untuk tujuan merusak, termasuk menyebarkan propaganda dan memanipulasi opini publik.