Survei ISEAS-Yusof Ishak Institute: Anak Muda Indonesia Paling Pesimistis di ASEAN Soal Politik dan Ekonomi

Daftar Isi

Ilustrasi. (Foto: shutterstock.com).
Ilustrasi. (Foto: shutterstock.com).
Survei ISEAS-Yusof Ishak Institute ungkap anak muda Indonesia paling pesimistis terhadap situasi politik dan ekonomi di antara enam negara ASEAN.

Selasa, (21/1/2025) Sebuah survei terbaru dari ISEAS-Yusof Ishak Institute mengungkapkan bahwa anak muda Indonesia menempati peringkat teratas sebagai yang paling pesimistis terhadap kondisi politik dan ekonomi di negaranya dibandingkan lima negara ASEAN lainnya.

Survei ini melibatkan 3.081 mahasiswa berusia 18-24 tahun dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Survei dilakukan untuk memahami bagaimana persepsi kaum muda terhadap situasi politik dan ekonomi di negara mereka.

“Anak muda di kampus memiliki peran penting dalam perubahan rezim. Mereka menjadi kelompok yang layak untuk diteliti,” tulis laporan tersebut, seperti di nukil lansirin.id.

Kecewa pada Situasi Politik, Pesimis dengan Visi Ekonomi Pemerintah

Menurut survei, 53,9 persen responden Indonesia menilai situasi politik di negara mereka buruk—persentase ini jadi yang tertinggi di antara negara-negara yang disurvei.

Laporan menyebutkan bahwa faktor seperti kekhawatiran terhadap melemahnya demokrasi dan munculnya dinasti politik mungkin menjadi penyebab ketidakpuasan ini. “Kekecewaan ini tampaknya ditujukan kepada elite politik, terutama terhadap mantan Presiden Joko Widodo,” tulis laporan tersebut.

Sebanyak 33,1 persen anak muda Indonesia juga pesimistis terhadap visi perkembangan ekonomi pemerintah. Meskipun begitu, enam dari sepuluh responden masih mengaku cukup optimistis dengan arah ekonomi negara mereka.

Ratusan pencari kerja memadati  Job Fair Bekasi tahun 2023 di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis (16/3/2023) silam. (Foto: kompas.id/Fakhri Fadlurrohman).
Ratusan pencari kerja memadati  Job Fair Bekasi tahun 2023 di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis (16/3/2023) silam. (Foto: kompas.id/Fakhri Fadlurrohman).

Namun, tingkat kekhawatiran anak muda Indonesia terhadap pengangguran dan resesi ekonomi sangat tinggi, mencapai 97 persen. “Persepsi ini muncul karena apa yang mereka hadapi memang seperti itu. Kalau dilihat data, PHK pada tahun lalu masif, dan banyak anak muda kesulitan mencari pekerjaan,” ujar Hendri Saparini, ekonom dari CORE Indonesia.

Merujuk pada Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat hampir 10 juta generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan. Sebanyak 369.500 orang berusia 15-29 tahun bahkan putus asa mencari pekerjaan.

Kementerian Ketenagakerjaan juga mencatat 80.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun lalu. Menurut Hendri, de-industrialisasi prematur adalah salah satu penyebab utama situasi ini. “Pertumbuhan ekonomi terkonsentrasi di wilayah tertentu, sehingga tidak semua anak muda, terutama yang berpendidikan rendah, merasakannya,” jelasnya.

Tekanan ekonomi ini juga terlihat dari penurunan kelas menengah di Indonesia. Pada 2024, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang (2019) menjadi 47,85 juta orang. Sebaliknya, kelas menengah rentan justru meningkat menjadi 137,5 juta orang.

Korupsi & Penegakan Hukum Jadi Kekhawatiran Tambahan, Alarm untuk Pemerintah?

Selain ekonomi, survei menunjukkan lebih dari 90 persen anak muda Indonesia prihatin terhadap isu korupsi dan lemahnya penegakan hukum di negara mereka. Aisah Putri Budiarti, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa pesimisme anak muda ini adalah peringatan bagi pemerintah.

“Meskipun angkanya kecil dan tidak mewakili populasi, hasil survei ini menunjukkan keprihatinan terhadap situasi politik dan ekonomi semakin menguat,” kata Aisah.

Ia menilai bahwa pemerintah harus memberikan perhatian lebih terhadap aspirasi generasi muda, terutama jika ingin mencapai visi Indonesia Emas. “Ketika mereka pesimistis, itu berisiko berbahaya. Anak muda biasanya penuh optimisme, tetapi jika ini berubah, maka dampaknya bisa serius,” jelasnya.

Aisah Putri Budiarti, pengamat politik dan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (Foto: kumparan.com/Irfan Adi Saputra).
Aisah Putri Budiarti, pengamat politik dan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (Foto: kumparan.com/Irfan Adi Saputra).

Namun, Aisah juga melihat sisi positif dari temuan ini, yaitu munculnya kesadaran dan sikap kritis generasi muda terhadap kebijakan pemerintah. “Harapannya mereka bisa menjadi penyeimbang dan memacu pemerintah untuk mengevaluasi kinerjanya,” tambahnya.

Sebaliknya, anak muda di Singapura dan Vietnam justru menunjukkan tingkat optimisme tertinggi. Di Singapura, 72,4 persen responden menilai situasi politik mereka baik atau sangat baik, diikuti Vietnam dengan 68,2 persen.

Sembilan dari sepuluh anak muda di Singapura, Vietnam, dan Malaysia juga memiliki pandangan optimistis terhadap perkembangan ekonomi negara mereka.

Laporan ini menyimpulkan bahwa stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang konsisten memupuk optimisme, sedangkan gejolak politik dan ekonomi, seperti yang dialami Indonesia, cenderung menciptakan skeptisisme.

“Temuan ini menyoroti perlunya pemerintah di Asia Tenggara untuk mendengarkan aspirasi generasi muda mereka untuk membangun kepercayaan dan stabilitas regional,” tulis laporan ISEAS.